Webmail |  Berita |  Agenda |  Pengumuman |  Artikel |  Video

NARASI: DEMOCRACY VS DEMOCRAZY

14 Juni 2019
01:30:09 WIB

 

fotoadolfinakoamesakhartikel 

NARASI:  DEMOCRACY VS DEMOCRAZY

Oleh: Dr. Adofina Elisabeth Koamesakh, M.Th,. M.Hum

 

            Sebuah negara yang menjunjung demokrasi seperti Indonesia tentunya memiliki sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya.  Meski konsep demokrasi selalu diartikan bahwa kekuasaan berada pada rakyat, namun tidak berarti bahwa rakyat secara sadar dan bertanggung-jawab dapat menentukan apa yang terbaik bagi mereka pada setiap periode kekuasaan.  Plato yang hidup sebelum Masehi mengatakan bahwa sistem demokrasi justru yang paling buruk di antara sistem pemerintahan lainnya.  Dan di abad moderen ini keburukan itu banyak diperlihatkan  pada setiap periode pemelihan umum, khsususnya di Indonesia.  Ini dikarenakan masyarakat dalam tingkatan pengetahuan dan statusnya, mereka dipaksa untuk menentukan pilihan mereka bukan karena kemampuan menganalisis kebutuhan mereka dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, tetapi lebih kepada paradigma politik praktis yang mengedepankan unsur-unsur primodialisme seperti pertimbangan sesama suku, agama, marga dan lain-lain, serta monster demokrasi yang disebut politik uang.

            Indonesia baru saja menyelesaikan perhelatan demokrsai pemilihan legislatif dan presiden. Tulisan ini bukan untuk menggugat hasil dari pilihan demokrasi tetapi sebagai refleksi terhadap beberapa perubahan sikap berdemokrasi yang dipertontonkan baik oleh rakyat maupun para kontestan, dalam hal ini para caleg dan capres-cawapres yang oleh penulis lebih kepada kondisi democrazy (baca: kegilaan masa) dari pada demokrasi itu sendiri.   

            Pertama: democracy vs democrazy  pemilihan pileg dan pilpres secara serentak memperparah ‘kegilaan’ pada tingkat masyarakat  dalam memilih. Memilih caleg tanpa foto mempersulit sebagian besar pemilih, khususnya kaum lansia dan iliterasi, bahkan kebanyakan pemilih pemula menghadapi persoalan yang serupa. Akibatnya pemilih kemudian hanya fokus pada kartu hijau dan abu-abu. Persoalan ini terlihat sepele tetapi substansinya adalah  kebanyakan rakyat tidak dapat memilih calon anggota mereka pada tingkatan-tingkatan di atas. Petanyaannya, apakah mereka mencoblos kartu-kartu lain? Kalau mereka tidak mencoblos siapa yang mencoblos sehingga dewan provinsi, DPRRI, DPD bisa tercoblos dengan puluhan ribu suara?  Sebuah kegilaan demokrasi.

            Kedua: democracy  vs democrazy adalah bergugurannya 300 lebih petugas PPS dan ribuan lainnya yang sakit dan dirawat. Sebuah fenomena baru dalam perhelatan demokrasi di Indonesia, meskipun  ada pihak yang membantah kalau tidak pernah ada kematian yang diakibatkan oleh kelelahan. Persoalannya adalah beban kerja yang menghantui para petugas yang sudah dimulai sebelum hari pencoblosan hingga pada saat penghitungan suara memakan waktu yang cukup panjang.  Para petugas TPS berada di tempat sebelum pkl. 07.00 dan kembali ke rumah esok hari menjelang siang, sebuah perubahan ritme hidup yang mendadak. Belum lagi mereka bekerja di bawah tekanan atas nama keadilan atau bahkan untuk kecurangan.  Maka ada yang bernyanyi bahwa seringkali petugas menyebut nomer yang berbeda dari nomer yang tercoblos, dan menulis pada nomer yang salah pada C1  plano maupun C1.  Bisa dibayangkan jika pesta demokrasi harus memakan korban para penyelenggara, maka sudah dipastikan 5 tahun mendatang tidak banyak yang mendaftarkan diri menjadi anggota KPPS, apalagi hanya dengan honor Rp. 500.000 potong pajak  mereka harus kehilangan nyawa.  Perbincanganpun jatuh pada pemilu serentak yang menguras energi dengan alasan efisiensi dana pemilu, tetapi kualitas hasil masih perlu dipastikan kebenarannya. Mengapa kualitas hasil perlu dipertanyakan? Contoh yang mudah dirasakan adalah antara pilpres dan pileg terdapat jurang besar pada ekspektasi masyarakat. Pilpres menjadi sorotan yang tajam tapi di lain pihak pileg menjadi tumpul, maka hasil pencoblosanpun patut dipertanyakan.  Dengan kata lain hasil pileg apakah merupakan suara murni pemilih atau by orderan? Jika terjadi yang kedua maka pilar legislatif dalam sistem negara demokrasi  tidak lebih dari sebuah democarzy.

            Ketiga, klaim kemenangan sebelum pleno KPU oleh pasangan capres bukan saja lelucon berdemokrasi tapi berpotensi menciptakan kegilaan berdemokrasi.  Pemilu dalam era digital di seluruh dunia mengandalkan quickcount, hitungan cepat dengan menerapkan ilmu statistik untuk memenuhi keingin-tahuan masyarakat terhadap hasil pemilu lebih cepat dari perhitungan manual. Meskipun demikian hasil hitungan cepat harus menunggu hasil manual yang berproses mulai dari TPS, Kecamatan, KPUD dan KPU-RI.  Alih-alih menunggu pleno yang dimulai dari tingkat kecamatan, Indonesia dan dunia harus keras berpikir adanya deklarasi kemenangan dan sujud syukur salah satu pasangan capres Indonesia mendahului tahapan perhitungan suara. Rakyat lugu bukan lagi kaget tapi logika berpikirpun terciderai. Yang crazy rakyat atau capres?

            Keempat, monster demokrasi yang menakuti-nakuti adalah politik uang. Seorang mahasiswa bertanya “apakah kerja politik tidak butuh duit, Mum?”  Rupanya dia bertanya karena pada pileg lalu seorang caleg memberikannya ongkos transportasi  ke TPS.  Jawabnya tentu ongkos politik ‘ya’  tapi ‘berdagang suara’ “tidak’. Belum selesai menjelaskan pertanyaan mahasiswa yang ringan itu  tiba-tiba saya membaca tulisan Deny Siregar yang selalu garing di FB. Beliau menyebutkan bilangan rupiah yang fantastis dari keluhan-keluhan caleg gagal berkisar 300 juta-1.5 miliar rupiah yang dibelanjakan caleg-caleg untuk meraih suara tapi gagal.  Dana yang dialokasikan untuk aksi-aksi sosial, tetapi kebanyakan juga untuk tim sukses yang berpura-pura memakainya untuk meraup suara tetapi kemudian kosong suara. Ketika membaca tulisan ini, saya teringat kembali  lontaran kata-kata yang pernah saya ucapkan kepada beberap tim sukses jika publik sering mengatakan caleg gagal, caleg gila maka di tahun 2019 akan ada banyak voters mengalami gejala democrazy karena bingung menghadapi para caleg, yang datang dengan tawaran ‘dagang suara’. Di beberapa tempat (tidak etis menyebutkan nama)  seorang calon pemilih menerima dari semua caleg yang datang, semua lembaran duit diterima, dan pada hari pencoblosan entah siapa yang dicoblos, yang memberi jumlah tertinggi? Yang masih ada hubungan identitas dengannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi ada juga yang tidak ke TPS karena bingung. 

            Menuntaskan jawaban kepada pertanyaan mahasiswa milenial di atas saya teringat pada sebuah SMS menjelang pemilu cukup membuatku sedih dan tidak mampu membacanya kembali.  Intinya pengirim mendesak supaya segera ‘belanja’ menjelang hari pemilihan. Pesan ini sangat tegas menggambarkan situasi ‘pasar democrazy’ dalam dunia demokrasi. Semakin dekat tanggal 17 April 2019 tim dari semua penjuru mulai gerah cenderung menekan untuk memainkan dagangan dengan menyebut nama  ‘para pembeli’ dengan jumlah yang mereka ‘taruh’ di atas suara perorangan. Bahkan sadisnya ada oknum-oknum di luar tim muncul secara tiba-tiba di waktu pagi, siang bahkan malam  menawarkan ‘dagangannya.’  Sebuah fenomena yang mencekam beriringan dengan tensi politik yang menuju denyutan tertinggi.   Orang-orang terdekat ikut terbagi dalam pikiran mereka. Ada yang terbawa semangat pasar, ada bersikap moderasi antara politik dan ongkos politik, tapi syukur ada yang tegas no money politic, paling tidak masih ada yang tidak ikut-ikutan crazy.

            Akhirnya, Pileg dan Pilpres 2019 telah berakhir dengan cerita yang unik nun getir. Semakin terbuka komunikasi canggih zaman now belum mampu membuka tabir permainan demokrasi. Permainan selalu diperankan oleh para aktor yang selalu mencari panggung kekuasaan. Sementara rakyat yang punya kedaulatan menempatkan siapa yang mereka inginkan.  Kedaulatan rakyat harus dijunjung tinggi, dan hasil perhelatan harus diakui. Sejarah demokrasi Indonesia terus mencatat, semoga kegilaan demokrasi dapat disembuhkan 5 tahun mendatang. 

            Refleksi ini membawa pada pemikiran adanya langkah urgensi yang perlu disikapi baik oleh pemerintah maupun kaum  pemerhati demokrasi mengambil langkah-langkah konkrit edukasi demorasi bagi rakyat, pentingnya menempatkan pemimpin politik dengan kemampuan yang mumpuni, jika politik diartikan sebagai strategi dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.



[*] Direktur Pascasarjana STT Paulus Medan

File Terbaru

Facebook Fanpage

TAUTAN EKSTERNAL